Korupsi Membudaya Karena Pejabat Menganut Jargon Wiro Sableng

- Kamis, 9 Desember 2021 | 18:55 WIB
Dekan Faktultas Hukum UMK Hidayatullah memberi paparan terkait budaya korupsi pada diskusi publik Kudus bangkit tanpa korupsi, Kamis (9/12). (suaramerdeka.com/Saiful Annas)
Dekan Faktultas Hukum UMK Hidayatullah memberi paparan terkait budaya korupsi pada diskusi publik Kudus bangkit tanpa korupsi, Kamis (9/12). (suaramerdeka.com/Saiful Annas)

KUDUS,suaramerdeka-muria.com – Sistem yang baik belum cukup menjadi jaminan akan hilangnya praktik korupsi. Sebab ceruk korupsi masih terbuka pada tataran pelaksanaannya. Apalagi hasil pelaksanaan sebuah kegiatan bisa dilihat dan dinilai langsung oleh masyarakat.

Hal itu mengerucut pada diskusi publik Kudus bangkit tanpa korupsi yang digelar aktivis untuk memeringati Hari Anti Korupsi, Kamis (12/9). Hadir pada diskusi publik tersebut Ketua DPRD Kudus Masan, Inspektur Kantor Inspektorat Kudus Adi Harjono, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus Hidayatullah, dan Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) Em Nadjib Hassan.

Dekan Fakultas Hukum UMK Hidayatullah melihat korupsi di Indonesia sangat sistemik. Salah satu penyebabnya dilihat dari sudut pandang makro adalah sistem politik yang berbiaya mahal.

BACA JUGA : Survei SMRC : Persepsi Publik Atas Korupsi Cenderung Memburuk

“Sekarang jadi pemimpin publik jargonnya Wiro Sableng 212. 2 tahun mengembalikan modal, 1 tahun mencari keuntungan sebesar-besarnya, 2 tahun mencari modal untuk mencari modal Pemilu berikutnya. Jadinya menjadi wiro sableng semua,” katanya.

Hidayatullah setuju praktik korupsi tidak lagi hanya masalah hukum dan sosial, tetapi masalah kemanusiaan. Ia mencontohkan dugaan korupsi bantuan sosial yang menjerat Mensos Juliari Batubara.

“Disaat pandemi warga sudah deg-degan, apa yang bisa disumbangkan untuk membantu penanganan pandemi, ini malah dikorupsi,” ujarnya.

Hidayatullah mengatakan, masyarakat memiliki perpektif berbeda dengan melihat hasil yang dikerjakan oleh Pemerintah. Meski sistem birokrasi yang dibangun sudah baik, namun hasil pelaksanaan sebuah kegiatan menjadi tolok ukurnya.

“Sistemnya sudah baik, prosesnya bagus, mengapa hasilnya menjadi jelek. Ini yang menjadi catatan masyarakat. Ruang korupsi bukan pada prosesnya, namun pada pelaksanaannya. Hasil yang ada pun seolah tidak bisa dibanggakan,” katanya.

Hidayatullah mencontohkan, belum ada hasil proyek di Kudus menjadi sebuah hal yang bisa dibanggakan. Proyek Balai Jagong misalnya. Ia yang hobi tenis sempat antusias ingin menjajal lapangan indoor di Balai Jaging Sport Center.

“Tapi ketika ramai-ramai melihat lapangan tenisnya, ternyata jelek sekali. Dari bahan lantai, luasan, bahkan sekarang tidak dipakai tenis tetapi justru untuk pencak silat. Jika kita jalan-jalan ke Semarang dan Malioboro melihat trotoarnya bagus, di Kudus ada City Walk tetapi hasilnya yang begitu saja,” ujarnya.

Secara umum, indeks persepsi korupsi Indonesia juga terus meningkat. Indonesia berada di urutan 102 dari 180 negara di Indonesia. Yang menarik, negara dengan peringkat terbaik justru mayoritas negara sekuler.

“Pernah saya tanya ke teman yang menjadi dubes di Finlandia. Kunci negara Finlandia bersih dari korupsi ia menyebut pejabatnya ikhlas menjalankan tugas. Kata kunci ikhlas ini kan ibarat pukulan telak bagi kita yang katanya religius ini,” katanya.

Ketua DPRD Kudus Masan dalam paparannya menuturkan, DPRD menjadi institusi yang memiliki kewenangan salah satunya pengawasan. Hanya saja, belakangan ini kewenangan DPRD terus dipangkas melalui regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.

Halaman:

Editor: Abdul Muiz

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X